Sampurasun!
Ka dulur miwah para kanca sakalih, hayu urang udunan!
Tidak terasa, kita telah memasuki hari-hari terakhir bulan suci Ramadan. Alangkah baiknya apabila hari-hari terakhir ini dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk lebih banyak berbagi dan beramal baik, sebelum akhirnya kita bertemu momen Lebaran, yang menandakan berkumpulnya keluarga serta merebaknya kebahagiaan.
Kebahagiaan di hari Lebaran, kami harapkan, tidak hanya dirasakan oleh Akang Teteh yang membaca serta keluarga Akang Teteh saja. Ada banyak saudara kita di luar sana yang belum seberuntung kita semua, seperti misalnya pedagang-pedagang kecil yang sudah lanjut usia. Jawa Barat memiliki banyak sekali sosok-sosok seperti ini. Mereka adalah sosok-sosok yang mulia, karena terus berusaha mencari nafkah dengan berniaga dan menolak untuk mengemis.
Karenanya, dengan kerendahan hati, kami mengundang Akang-Teteh untuk berpartisipasi dalam program sebagai berikut:
Pengumpulan Dana (Udunan)
Modal Usaha dan Tunjangan Hari Raya untuk Pedagang Kecil se-Jawa Barat.
Bersama komunitas Ketimbang Ngemis dari Bekasi, Garut, Karawang, dan Purwakarta, Ngariung bermaksud untuk memberikan delapan orang pedagang kecil modal usaha dan THR sebesar Rp 1.500.000,- per orang.
Kami tidak bisa melakukan ini sendiri, kami butuh bantuan Akang Teteh semua. Caranya sederhana:
1) Buka kitabisa.com/thrsoliajabar;
2) Klik “Donasi Sekarang”;
3) Masukkan nominal donasi;
4) Pilih cara pembayaran.
Atau, Akang Teteh bisa sebarkan tautan udunan ini kepada kolega, teman, dan keluarga agar semakin banyak orang baik yang berkenan membantu para pedagang kecil ini.
Di bawah adalah adalah sosok-sosok mulia yang rencananya akan mendapatkan THR dan modal usaha untuk memberdayakan diri:
1. Abah Darmaji
Namanya Abah Darmaji, usianya 85 tahun. Abah berasal dari Darangdan, suatu kecamatan di Purwakarta, 18 kilometer jauhnya dari pusat kota Purwakarta. Hampir setiap hari Abah ke kota untuk berjualan taraje, atau anak tangga.
Barang jualan Abah bukanlah barang yang mudah laku (tidak seperti fidget spinner, misalnya). Di zaman tangga besi lipat seperti ini, jarang sekali yang membeli barang jualan Abah.
Karena tidak setiap hari laku, bisa dibilang hidup Abah kurang stabil: Ia tidak bisa memprediksi kapan ia harus makan dan kapan ia harus puasa.
Abah Darmaji memiliki suatu cita-cita sederhana: buka warung! Di usianya yang sudah tidak muda lagi, menggotong-gotong tangga setiap hari sangat berat untuk fisiknya.
2. Abah Sawin
Kenalkan, ini Abah Sawin. Sehari-hari, Abah mencari nafkah dengan memulung sampah di daerah Sukaseuri, Purwakarta. Sang Abah dapat dikenali dari sepedanya yang sudah rusak sebagian, serta semangatnya yang tidak kunjung padam dalam mencari rezeki.
Dari kerja kerasnya yang biasanya dilakukan sejak petang hingga tengah malam, perharinya Abah Sawin bisa mendapatkan Rp 5.000-10.000. Penghasilan itu harus dicukupkan untuk menafkahi istrinya serta cucu yang ia rawat di rumah.
Ya, Abah Sawin adalah tulang punggung bagi mereka. Karenanya, Abah Sawin butuh untuk terus sehat agar dapat terus mencari rezeki untuk mereka.
3. Engkong Amin
Kenalkan, ini Engkong Amin. Engkong berjualan minuman segar yang enak sekali diminum di siang hari terik: es cincau! Gerobak Engkong Amin dapat dijumpai di Karawang.
Sejak tahun 1972, beliau sudah menggeluti dunia dagang. Sebelum berjualan es cincau, Engkong Amin sempat pula berjualan es potong, es goyobod, mainan anak-anak, serta jagung rebus. Berjualan di usianya yang menginjak 71 tahun tidak mudah. Pernah kakinya begitu lelah dan keram saat berkeliling, hingga gerobaknya terjungkal.
Siapapun butuh rekreasi, termasuk Engkong Amin. Saat ini, satu keinginan beliau: memiliki sebuah tape compo! Radio yang dulu beliau miliki sudah rusak. Padahal, alunan musik dan suara dari radio itulah yang menemaninya melepas lelah sepulang berjualan, karena beliau tinggal sendirian saja.
4. Abah Karna
Nama Abah satu ini seperti salah satu tokoh pewayangan yang dikenal atas sifat ksatrianya: Karna.
Sehari-hari, beliau berjualan telor gulung di sekolah-sekolah, penganan yang sering kita beli waktu SD–atau mungkin hingga kini. Tidak setiap hari dagangannya habis, dan pendapatannya juga tidak bisa dikatakan menentu.
Beliau berdagang mulai dari pagi hingga jam 3 sore. Di umurnya yang menginjak 75 tahun ini, Abah Karna mau tidak mau harus lebih memerhatikan kesehatan, terutama karena beliau hanya tinggal sendiri di rumahnya.
Diharapkan, Abah Karna terus sehat agar ia bisa tetap berjualan dan menyenangkan setiap siswa yang berinteraksi dengannya.
5. Ema Uha
Ini namanya Ema Uha. Di pinggir pos polisi di jalan Cimanuk, kabupaten Garut, Ema Uha bisa kita temui, bersama warung kecil yang berisi barang jualannya.
Nenek yang sering duduk termenung di depan pos ini mengaku bahwa ia tinggal di sana sejak banjir melanda. Dulu, rumahnya ada di bantaran sungai Cimanuk. Namun, rumahnya terbawa arus banjir. Karenanya, Ema Uha pindah ke warungnya. Untungnya, polisi mengizinkannya untuk tidur di dalam pos ketika malam menjelang.
Ema Uha masih memiliki kerabat, namun mereka kebanyakan tinggal di pengungsian. Makanya, kini Ema Uha tinggal hanya sendiri saja. Mandi, mencuci baju, dan sembahyang dilakukannya di masjid yang terletak di pertigaan dekat pos polisi jalan Cimanuk.
Ema Uha membutuhkan bantuan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari serta membeli perlengkapan yang akan menunjang kegiatan jual beli warungnya. Yuk kita bantu Ema Uha
6. Pak Endin
Laki-laki berompi merah ini namanya Pak Endin. Beliau adalah warga Garut. Pak Endin berusia 70 tahun, dan sehari-hari berprofesi sebagai tukang parkir di salah satu minimarket di kawasan Cakrabuana. Profesi ini telah ia lakoni selama empat tahun terakhir.
Pak Endin mengarungi hidup berdua saja bersama istrinya, Bu Yati Rohayati. Bu Yati pandai memasak: dulu, ketika Pak Endin menjadi petugas keamanan dan kebersihan kantor Dispenda, Bu Yati menyajikan makanan di kantin. Saat itu, mereka berdua dapat tinggal di kamar yang disediakan oleh kantor tersebut.
Akan tetapi, semua berubah seketika pihak kantor meminta Pak Endin dan Bu Yati untuk pindah dari kamar tersebut. Pasangan suami istri ini akhirnya pindah ke rumah kecil di Cakrabuana yang kadang kurang melindungi mereka ketika hujan melanda.
Pak Endin dan Bu Yati memiliki keinginan untuk memperbaiki rumahnya sedikit demi sedikit. Paling tidak, mereka ingin nantinya rumah mereka mampu melindungi mereka dari hujan dan kemarau yang mendominasi iklim Indonesia.
Hatur Nuhun Akang Teteh!